'/> Perkembangan Tari Tunggal Nusantara -->

Info Populer 2022

Perkembangan Tari Tunggal Nusantara

Perkembangan Tari Tunggal Nusantara
Perkembangan Tari Tunggal Nusantara
Perkembangan tari Nusantara akan ludang keringh memperringan dan sepele jikalau dikelompokkan berdasarkan periode masuknya penyebaran agama ke Indonesia atau berdasarkan perubahan sejarah.

Jika Anda tinggal di Medan, mungkin Anda pernah menonton pergelaran tari yang berjudul Tari Zapin. Tari ini salah satu tarian yang menerima dampak dari bangsa Arab. Kata Zapin diambil dari kata al-zafin yang artinya gerak kaki.

Adapun secara koreografi, perkembangan Tari Zapin tetap menampilkan motif-motif gerak tari Melayu dan tidak menghilangkan ciri khas gerak memberikanrama dari tari-tarian Melayu. Dahulu Tari Zapin sering ditarikan hanya oleh seorang penari (tunggal), tetapi kini kadang kala dibawakan oleh sepasang laki-laki atau perempuan dengan laki-laki.

Busana khas Tari Zapin yang unik, demikian pula jenis tari lainnya yang berasal dari Sumatra, menerima dampak dari masuknya Islam ke Sumatra, menyerupai yang dikenakan oleh kebanyakan para penarinya, yaitu ‘serba tertutup’. Busana perempuan terdiri atas kebaya labuh berlengan panjang, atau
baju kurung, dan kain songket panjang atau celana panjang.

Adapun penari laki-laki mengenakan busana kecak musang dan baju kurung teluk belanga. Baju ini biasa digunakan lakilaki kadab pergi ke masjid untuk shalat. Bagian depannya terdapat kepingan yang berkancing, di sampingnya dibelah kiri dan kanan, menyerupai yang Anda kenal sebagai baju koko. Mereka juga menggunakan songkok atau peci.

Demikian pula jikalau Anda perhatikan syair lagu yang mengiringi Tari Zapin, sangat kental dengan pepatah bersumber dari agama Islam, menyerupai lagu “Bismilah”, lagu “Pulut Hitam”, lagu “Sayang Serawak”, atau lagu “Lancang Kuning”, yang bertempo rentak (rancak, dinamis). Musiknya memberikanrama
gambus dengan iringan alat musik biola, gendang, gong, dan akordeon. Dalam setiap selingan alunan lagunya diselingi paduan balas pantun.

Bagi Anda yang tinggal di Pulau Jawa, sedikit banyak tidak akan abnormal mendengar sebuah tari yang dimemberikan nama Tari Golek. Di Yogyakarta maupun Surakarta, tari ini kerap dikenal sebagi tari tunggal yang terinspirasi dari boneka kayu yang dinamakan golek. Tarian ini biasanya ditarikan pada pertunjukan wayang kulit di selesai lakonnya. Sinopsis atau citra dari Tari Golek menggambarkan seorang gadis cukup umur yang sedang menghias diri.

Pernahkah Anda mendengar, bahkan mungkin menonton, Tari Gambyong? Tarian ini merupakan jenis tari rakyat yang sifatnya menghibur. Gambyong itu sendiri ialah nama dari bab pertunjukan tayuban, yaitu kadab penari perempuan yang disebut ledhek/tledhek menari sendiri, Kemudian, ia berduet dengan penari laki-laki yang mengajaknya menari bersama. Kadab penari laki-laki telah ikut serta menari, maka tari itu disebut tayuban atau menari bersama.

Mengamati busana Tari Gambyong, berkesan bahwa tarian ini ialah tarian rakyat jelata. Perhatikan gambat di samping. Busana yang dikenakan berupa kain batik, angkin atau epilog torso (bustier), pundak terbuka, selendang (sondher), dan rambut disanggul alakadarnya. Pada masa kerajaan, di hampir seluruh wilayah di Pulau Jawa terdapat cara berpakaian yang berbeda antara para bangsawan keraton dengan rakyat biasa. Perbedaan tersebut terang diwujudkan pada Tari Gambyong ini.

Selain itu, tari tunggal di Indonesia pada ketika tumbuh kembangnya mempunyai perbedaan. Tari-tarian di luar Pulau Jawa pada zaman sebelum kemerdekaan sangatlah jarang menyuguhkan tari tunggal. Selain alasannya faktor sumber daya insan atau seniman kreator yang masih sedikit, juga alasannya kebutuhan masyarakatnya ludang keringh cenderung pada tari-tarian ritual atau upacara oleh sekelompok orang di sebuah kampung, Kebutuhan masyarakat juga cenderung pada jenis tari pergaulan yang sifatnya menghibur. Jelas tari pergaulan melibatkan banyak orang, bukan? Maka tari-tarian tunggal yang tumbuh di luar Pulau Jawa sangatlah sedikit.

Meskipun demikian, tari tunggal yang berasal dari Pulau Sumatra tidak dikhususkan untuk disajikan oleh seorang penari. Uniknya ialah tarian tunggal dari Sumatra ini sanggup dibawakan oleh penari perempuan atau laki-laki alasannya motif geraknya yang memang sanggup dilakukan oleh laki-laki dan wanita. Contohnya, Tari Rantak. Tari Rantak sanggup dibawakan oleh laki-laki dan wanita. Tari Rantak juga sanggup ditarikan secara tunggal ataupun berpasangan, diadaptasi berdasarkan kebutuhan pentas.

Tari Lenggang Patah Sembilan merupakan tari Melayu yang bertempo lambat. Karena bertempo lambat, pepatah Melayu menyampaikan “tiruant jikalau dipijak pun takkan mati saking lambatnya tarian ini”.

Dalam Tari Lenggang Patah Sembilan, seorang penari melenggang di tempat, bertumpu pada sebelah kaki, silih berganti. Akan tetapi, sesungguhnya tarian ini bertenaga. 


Tarian ini diiringi lagu “Kuala Deli” sehingga orang boleh menyebutnya Tari Kuala Deli. Namun, sesungguhnya tarian ini merupakan tari pergaulan muda-mudi yang tidak memandang usia, bergantung daerah tarian ini disajikan.

Mengidentifikasi tari-tarian tunggal dari Pulau Jawa ludang keringh memperringan dan sepele. Hal ini didasarkan oleh banyaknya dongeng perwayangan dan sumber dongeng lainnya yang diangkat menjadi sebuah tari yang menggambarkan tokoh-tokoh tertentu dari sumber cerita, baik perwayangan maupun dongeng rakyat lainnya.

Selain itu, juga sesudah zaman kemerdekaan, kebebasan untuk mewujudkan banyak macam seni ludang keringh terbuka. Selanjutnya, kebutuhan akan hiburan yang ludang keringh berkelas mendorong para seniman tari untuk membuat tari-tarian tradisi dengan gaya masing-masing.

Baju prangwadana merupakan baju yang digunakan oleh menak (ningrat) Sunda pada zaman berlalu dan silam. Kain lereng dengan motif bendo rusak besar memperlihatkan bahwa Tari Gawil berkarakter monggawa. Selendang berwarna merah atau kuning memperlihatkan abjad agung, dihormati sebagai seorang menak (ningrat). Keris ialah senjata para menak zaman dulu.

Dalam keadaan darurat, keris merupakan senjata untuk membela diri. Dasi kupu-kupu merupakan akulturasi dari pergaulan menak Sunda dengan para kaum feodal.

Pada jenis tari-tarian upacara ritual ataupun kemasyarakatan, umumnya para penari tidak menggunakan riasan wajah. Riasan hanya yang digunakan sehari-hari tanpa mengesankan abjad tertentu. Tentu saja kesederhanaan rias itu merupakan kudang keringasaan yang tidak memerlukan pepenilaianan dari pihak lain
(penonton), menyerupai rias Tari Tarawangsa.

Pada beberapa tarian, rias wajah menjadi ‘harus‘ untuk memperlihatkan kekhasan, dengan menambahkan garis kumis menjadi ludang keringh tebal, garis jambang, garis alis menyerupai pada penari Reog Ponorogo, ataupun Tari Jatilan yang kadang kadang dibawakan oleh penari perempuan (travesti).

Riasan ini terang memperlihatkan kesan akan sebuah abjad yang gagah, disegani, kuat. Demikian halnya dengan rias pada penari laki-laki dalam Tari Ketuk Tilu. Untuk memperlihatkan kesan seorang jawara, garis rias menjadi ludang keringh tebal.

Bentuk garis rias lainnya memperlihatkan sebuah kesan abjad lucu, periang, yang kadang kala disimbolkan pada topeng epilog muka dengan mimik yang lucu sehingga bagaimanapun gerakannya, kesan tari lucu lucuan, jenaka tetap ditangkap penonton sepanjang tarian.


Dari banyak sekali klarifikasi tadi, jelaslah bahwa kadab tari disajikan oleh seorang penari, disebut tari tunggal. Kadab tarian telah diikuti oleh penari lain, sanggup jadi tarian itu menjadi sebuah tari kelompok. 

Advertisement

Iklan Sidebar